“Bang, kita nggak usah pakai helm ya Bang”. ucap Aji.
“Lho, kenapa nggak usah? Bukannya jauh?”.
“Biar disangka orang lokal, kalau ketemu begal.”. jawab Aji sambil tersenyum.
Rasa cemas dan takut mengawang-awang dikepalaku. Bagaimana tidak, baru saja tiba di Lampung, aku langsung diberikan info yang sangat-sangat tidak menyenangkan. Menurut Aji, kami akan melintasi hutan dan kampung-kampung untuk mencapai destinasi kami yaitu Batu Granit.
Awalnya, aku hendak membatalkan perjalanan saja karena mendengar kata “Batu Granit”. Sebuah batu besar yang ada ditengah hutan, dengan mineral plagioklas yang ada didalamnya. Hall itu mengingatkanku pada zaman kuliah dulu di Fakultas Teknik Geologi. Sudah cukup bosan rasanya meneliti batuan, sampai-sampai kami sering dibilang tidak ada kerjaan karena meneliti benda mati. Hampir enam tahun lamanya aku menghabiskan waktu untuk menyelesaikan kuliah, dan enam tahun lamanya pula aku bergulat dengan aneka batuan.
Suara motor berderu semakin kencang saat motor trail modifikasi Aji menelusuri jalanan hutan yang bergelombang. Bunyi berdecit terdengar dari shock belakang motor. Mungkin motor ini tak seharusnya mengangkut berat yang berlebih, atau memang motor tua ini sudah harus diganti. Semakin terasa ketika motor beradu dengan lubang, rasa-rasanya shock sudah mentok sampai ke bodi motor.
Tetapi jujur saat itu aku tak peduli, karena sedaritadi aku hanya bisa celingak celinguk kiri kanan memperhatikan suasana sekitar. Oh tidak, jalan setapak ini gelap. Pohon-pohon tinggi menghalangi cahaya matahari yang masuk, yang membuat jalan setapak ini gelap. Padahal jam arlojiku baru saja menunjukkan pukul setengah lima.
“Jam segini aja udah gelap, gimana nanti.” pikirku.
Tiba-tiba, terdengar suara raungan motor dari arah belakang kami. Entah mengapa, tiba-tiba Aji sedikit menarik gas.
Aku berusaha menengok kebelakang, mencari tahu arah suara raungan itu. Yang benar saja, ada beberapa motor yang sepertinya mencoba menyusul kami!
Raungan suara motor dari arah belakang semakin terasa dekat. Cahaya lampu motor-motor misterius itu seolah mengejar kami dalam kegelapan. Aku mengeratkan genggamanku ke jok motor yang dipacu semakin kencang membelah hutan.
Aji tak bergeming, ia hanya fokus mengendalikan motor. Tak terbayang jika motor ini selip dan terjatuh ketika ada seseorang yang mengejarmu dari belakang. Aku teringat kejadian saat aku terjatuh dari sepeda motor di tengah kegelapan Taman Nasional Baluran karena kaget akan datangnya kerbau-kerbau yang tiba-tiba menyebrang jalan. Saat itu, aku terjatuh dan terpental beberapa meter. Dengan kondisi badan terluka, aku berusaha kembali ke motor. Tapi sial, motor tak bisa dinyalakan karena kuncinya lepas dari motor. Mau tidak mau, aku berusaha mencari kunci yang entah terpental kemana menggunakan senter dari smartphone yang kubawa.
“Ji, dibelakang ada orang Ji” tegurku.
Aji hanya diam. Mungkin, suaraku teredam suara knalpot yang menggema.
Dari kejauhan, secercah cahaya terlihat menyeruak diantara pepohonan. Secercah cahaya yang nampak seperti harapan. Aku ingat, Aji pernah bilang bahwa lokasi batu granit itu persis selepas dari hutan lebat.
Dan benar saja, kami sampai di lokasi dengan selamat. Aku menoleh kebelakang, beberapa motor itu ikut berhenti. Aku memperhatikan wajah-wajah para pemuda itu. Wajah-wajah warga lokal dengan sepeda motornya andalannya masing-masing.
“Tenang aja Bang, mereka semua teman-teman saya dari kampung sebelah” tegur Aji.
“Sengaja saya diam karena sedang fokus, lagian kalau ada mereka, semakin ramai semakin aman bang. Lihat sendiri kan jalanan tadi hutan semua.” lanjutnya.
Aku jadi merasa malu sendiri. Berpikiran buruk dengan kehadiran orang lain. Ya, berburuk sangka atau waspada itu boleh-boleh saja saat traveling, tapi juga harus ada batasnya. Jangan sampai, ada orang yang berniat membantumu secara tulus, malah tersinggung dengan kewaspadaanmu yang berlebihan.
Pernah mengalami hal yang sama(misalnya terlalu waspada saat traveling, yang malah membuat kehilangan kesempatan baik)? Ceritakan dong!